Hampir setiap tahun selalu muncul cerita orang kaya baru di wilayah Kawangkoan, Tompaso, Langowan, Minahasa, Sulawesi Utara.
Cerita orang kaya baru ini bukan dari sosok pengusaha, melainkan dari keluarga petani.
Dua komoditas pertanian yang membuat orang kaya mendadak adalah cabai dan tomat. Dari hasil bertani dua komoditas ini, puluhan keluarga telah mendapat keuntungan hingga Rp 200 juta, hanya dalam sekali musim tanam. Rumah dan mobil bisa dengan mudah dibeli dengan uang tersebut.
Sebuah lahan pertanian seluas sekitar seperempat hektare di Langowan Barat, pernah menghasilkan uang sekitar Rp 150 juta. Uang sebanyak itu dihasilkan hanya dalam waktu empat bulan.
Rommy Mamesah, pemilik lahan itu menceritakan, dirinya benar-benar mendapat rezeki yang sangat besar saat menanam cabai
Kerja keras yang dilakukannya saat itu terbayar lunas saat beberapa pekan sebelum masa panen, harga cabai di pasar meningkat drastis.
"Saat menentukan awal penanaman, saya tidak menyangka akan mendapat hasil yang besar seperti itu. Saya sangat bersemangat saat mengetahui harga cabai mulai naik. Tiga minggu sebelum panen, harga di pasaran sudah menyentuh Rp 30 ribu," ujarnya.
Kala itu, lanjutnya, nyaris setiap hari harga cabai terus naik. Saat tanaman cabainya dipanen pertama kali, harga jual mencapai Rp 70 riu per kilogram.
Pada panen pertama, Rommy memetik sekitar 50 kilogram cabai. Artinya, ia berhasil meraup keuntungan Rp 3,5 juta. Uang ini telah menutupi biaya perawatan tanaman sejak awal sampai panen pertama.
Hasil tersebut hanya sebagai awal dari hasil yang lebih besar. Saat itu, banyak pengumpul yang datang membeli cabainya. Awalnya, Rommy menceritakan, ada pria dari Tomohon yang datang menawar cabainya seharga Rp 70 juta. Namun, tawaran tersebut ia tolak. Beberapa pengumpul lain juga datang dan menawar dengan harga yang lebih tinggi.
"Saya masih ingat saat itu hari Sabtu, ada pria dari Manado yang datang menawar cabai saya. Awalnya dia hanya menawar seharga Rp 120 juta. Namun, saya tetap menolak. Saya katakan akan melepas cabai saya jika dia berani membayar Rp 170 juta. Setelah tawar-menawar, akhirnya kami sepakat pada harga Rp 150 juta," tuturnya.
Prediksi Rommy tepat. Karena, sepekan kemudian harga cabai menembus harga tertinggi, Rp 90 ribu per kilogram. Harga jual ini sangat tinggi, bahkan melebihi harga jual cengkeh saat itu.
"Saya dan keluarga sangat senang mendapat hasil seperti itu. Uang hasil penjualan cabai saya gunakan untuk membangun rumah," tukasnya.
Ketika Rommy pernah mendapat hasil yang spektakuler dari tanaman cabai, Masye Rumengan (36), warga Kawangkoan, justru mengalami hal sebaliknya.
Usaha rumah makan yang menjual tinutuan, hampir bangkrut karena harga cabai yang tinggi. Masye nyaris kehilangan usaha yang menopang perekonomian keluarganya.
"Saya pernah sangat stres saat harga cabai mencapai Rp 90 ribu per kilogram. Bagaimana saya bisa berjualan dan mendapat keuntungan jika harga cabai seperti itu. Saya terpaksa menutup sementara usaha saya, karena modal membeli cabai lebih besar dibanding keuntungan. Tidak mungkin juga saya menjual tinutuan (bubur Manado) tanpa menyediakan dabu-dabu (sambal)," jelasnya.
Hampir dua bulan, ibu rumah tangga ini menutup usahanya. Sebagai pengganti, dia terpaksa melakukan usaha lain, yaitu mencuci pakaian di rumah tetangga, agar bisa mendapat uang untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Setelah harga cabai dirasa cukup normal, Masye kembali menjalankan usaha menjual bubur Manado.
"Kondisi seperti itu selalu saya alami setiap tahun, karena pasti harga cabai akan naik. Namun, jika harga masih Rp 40 ribu per kilogram, saya masih bisa bertahan dan terus berjualan. Walau keuntungannya menjadi sedikit, setidaknya masih cukup untuk kebutuhan keluarga. Selain itu, saya harus terus menjaga pelanggan saya. Namun, kalau harga kembali naik sampai Rp 90 ribu per kilogram, saya pasti akan menutup sementara usaha saya," bebernya.
Share this post
0 Response to "Sekali Panen, Petani Cabai Bisa Beli Mobil"
0 Response to "Sekali Panen, Petani Cabai Bisa Beli Mobil"
Posting Komentar