Tidur di Dapur - Biayai Sekolah 4 Adik, Ini Kisah Bocah 15 Tahun yang Jadi Tulang Punggung Keluarga
Seorang bocah bernama Juwadi terpaksa harus menjadi tulang punggung keluarganya setelah sang ayah, Mitro Slamet meninggal dunia.
Bocah berusia 15 tahun warga lereng Gunung Merbabu, Dukuh Malibari, Desa Ngargoloko, Kecamatan Ampel itu kini harus bekerja bantingg tulang demi menghidupi empat orang adiknya dan juga sang ibu.
Juwadi satu-satunya orang di rumah yang mencari uang agar adik-adiknya bisa makan dan bersekolah.
Rumah bilik tempatnya tingga bersama empat orang adiknya dan ibunya itu menjadi saksi bisu kerasnya perjuangan Juwadi untuk keluarganya.
Kondisi rumah peninggalan almarhum ayahnya Mitro Slamet (63) dan ibunya Sutinem (45) itu sangat sederhana.
Juwadi satu-satunya orang di rumah yang mencari uang agar adik-adiknya bisa makan dan bersekolah.
Rumah bilik tempatnya tingga bersama empat orang adiknya dan ibunya itu menjadi saksi bisu kerasnya perjuangan Juwadi untuk keluarganya.
Kondisi rumah peninggalan almarhum ayahnya Mitro Slamet (63) dan ibunya Sutinem (45) itu sangat sederhana.
Tidak banyak perabotan serta sarana prasarana seperti ruang tamu dan kamar mandi di dalam rumah tersebut.
Bahkan, kamar tidur untuk satu keluarga, menjadi satu dengan dapur untuk memasak sehari-hari.
Rumah yang dihuni satu keluarga dikawasan lereng Gunung Merbabu itu hanya hanya berlasakan tanah dan berdinding gedek (anyaman bambu).
Selama ini Juwadi bekerja sebagai buruh aspal serabutan untuk menghidupi keluarganya dibantu adik almarhum ayahnya, Sendet (56) dan warga sekitar.
Sendet menceritakan, kondisi keluarga Mitro Slamet memang sangat kekurangan.
"Juwadi yang masih bocah bantu jadi buruh aspal dan dari kecil tidak sekolah," kata Sendet dikutip TribunnewsBogor.com dari TribunSolo.com, Sabtu (22/6/2019).
"Dia buta huruf dan hitung tidak bisa baca tulis," tambah Sendet.
Di rumah itu, Juwadi harus menghidupi ibunya Sutinem yang tidak bekerja karena mengalami keterbelakangan mental dan jaga harus memenuhi kebutuhan empat adiknya yang masih kecil.
Juwadi memiliki empat orang adik yakni Rosidi (14) yang masih SMP, Suwarno (10) duduk di bangku SD, Ajeng (6) akan masuk TK, dan yang paling bontot ada Siti Utari yang baru berusia 2,5 tahun.
"Adik - adik Juwadi semua bersekolah, cuma Juwadi yang memang memilih bekerja jadi buruh aspal untuk keluarganya," kata Sendet.
TribunSolo.com mencoba berbincang dengan Juwadi, dia mengerti apa yang dimaksudkan dari pertanyaan yang dilontarkan.
Hanya saja, dia tidak menjawabnya dengan jelas.
Juwadi sering menjawab dengan mengangguk atau menggeleng namun sesekali dia juga mencoba menjelaskan dengan bicara.
Saat ditanyai kenapa dia tidak mau bersekolah apakah lantaran ingin membantu ibunya untuk mengurus rumah, Juwadi mengangguk mendengar pertanyaan tersebut.
Dia juga menjelaskan, sering membantu proyek pengaspalan dan libur pada hari waktu tertentu yakni sabtu dan minggu.
Sesekali penjelasan Juwadi dibantu oleh adik almarhum ayahnya (bulek), Sendet (56).
"Juwadi itu tidak sekolah ya memang bantu - bantu di rumah untuk mengurus adik-adiknya," kata Sendet pada TribunSolo.com, Sabtu (22/6/2019).
Sendet mengatakan, dia juga banyak membantu soal pengelolaan keuangan keluarga Juwadi.
"Kalau bayaran kerja, uangnya sama bosnya Juwadi dikasih saya, jadi anak ini tidak bisa menghitung jadi saya yang ngecakne (mengatur)," papar Sendet.
"Satu minggu dapat Rp 500 ribu, nanti buat sangu adiknya dan makan keluarga saya yang bantu kelola," aku dia membeberkan.
Ia menambahkan, Juwadi memang sejak kecil tidak bersekolah karena harus bekerja.
"Juwadi sendiri itu susah ngomong kayak celat, dia kerja bantu proyek aspal dan dari kecil tidak sekolah," kata Sendet ditemui TribunSolo.com, Sabtu (22/6/2019).
"Dia buta huruf dan hitung tidak bisa baca tulis," tambah Sendet.
Ibunya Juwadi selama ini memang seperti orang yang keterbelakangan mental namun masih bisa diajak komunikasi dan hidup normal sehari-hari.
Jadi ibunya sendiri tidak bisa banyak membantu dalam pengelolaan keuangan dan lain sebagainya.
Soal memasak ibunya tersebut masih bisa, Juwadi juga sering menggantikan ibunya masak.
Dapat Bantuan PKH
Keluarga Juwadi sudah mendapatkan bantuan dari Pemerintah yakni berupa Program Keluarga Harapan (PKH).
Bulik Juwadi, Sendet (56) warga Dukuh Malibari, Desa Ngargoloko, Kecamatan Ampel mengatakan, keluarga ponakannya tersebut sudah mendapatkan bantuan dari Pemerintah.
"Sudah dapat bantuan ada PKH itu setiap tiga bulan sekali dapat uang, jaminan kesehatan," kata Sendet pada TribunSolo.com, Sabtu (22/6/2019).
"Kalau program apa namanya itu saya lupa, sudah dapat kok," tambah Sendet.
Berbagai bantuan tersebut berupa beras, juga ada untuk menghidupi keluarga Juwadi (15) bersama ibu dan adik-adiknya.
Bahkan, kamar tidur untuk satu keluarga, menjadi satu dengan dapur untuk memasak sehari-hari.
Rumah yang dihuni satu keluarga dikawasan lereng Gunung Merbabu itu hanya hanya berlasakan tanah dan berdinding gedek (anyaman bambu).
Selama ini Juwadi bekerja sebagai buruh aspal serabutan untuk menghidupi keluarganya dibantu adik almarhum ayahnya, Sendet (56) dan warga sekitar.
Sendet menceritakan, kondisi keluarga Mitro Slamet memang sangat kekurangan.
"Juwadi yang masih bocah bantu jadi buruh aspal dan dari kecil tidak sekolah," kata Sendet dikutip TribunnewsBogor.com dari TribunSolo.com, Sabtu (22/6/2019).
"Dia buta huruf dan hitung tidak bisa baca tulis," tambah Sendet.
Di rumah itu, Juwadi harus menghidupi ibunya Sutinem yang tidak bekerja karena mengalami keterbelakangan mental dan jaga harus memenuhi kebutuhan empat adiknya yang masih kecil.
Juwadi memiliki empat orang adik yakni Rosidi (14) yang masih SMP, Suwarno (10) duduk di bangku SD, Ajeng (6) akan masuk TK, dan yang paling bontot ada Siti Utari yang baru berusia 2,5 tahun.
"Adik - adik Juwadi semua bersekolah, cuma Juwadi yang memang memilih bekerja jadi buruh aspal untuk keluarganya," kata Sendet.
TribunSolo.com mencoba berbincang dengan Juwadi, dia mengerti apa yang dimaksudkan dari pertanyaan yang dilontarkan.
Hanya saja, dia tidak menjawabnya dengan jelas.
Juwadi sering menjawab dengan mengangguk atau menggeleng namun sesekali dia juga mencoba menjelaskan dengan bicara.
Saat ditanyai kenapa dia tidak mau bersekolah apakah lantaran ingin membantu ibunya untuk mengurus rumah, Juwadi mengangguk mendengar pertanyaan tersebut.
Dia juga menjelaskan, sering membantu proyek pengaspalan dan libur pada hari waktu tertentu yakni sabtu dan minggu.
Sesekali penjelasan Juwadi dibantu oleh adik almarhum ayahnya (bulek), Sendet (56).
"Juwadi itu tidak sekolah ya memang bantu - bantu di rumah untuk mengurus adik-adiknya," kata Sendet pada TribunSolo.com, Sabtu (22/6/2019).
Sendet mengatakan, dia juga banyak membantu soal pengelolaan keuangan keluarga Juwadi.
"Kalau bayaran kerja, uangnya sama bosnya Juwadi dikasih saya, jadi anak ini tidak bisa menghitung jadi saya yang ngecakne (mengatur)," papar Sendet.
"Satu minggu dapat Rp 500 ribu, nanti buat sangu adiknya dan makan keluarga saya yang bantu kelola," aku dia membeberkan.
Ia menambahkan, Juwadi memang sejak kecil tidak bersekolah karena harus bekerja.
"Juwadi sendiri itu susah ngomong kayak celat, dia kerja bantu proyek aspal dan dari kecil tidak sekolah," kata Sendet ditemui TribunSolo.com, Sabtu (22/6/2019).
"Dia buta huruf dan hitung tidak bisa baca tulis," tambah Sendet.
Ibunya Juwadi selama ini memang seperti orang yang keterbelakangan mental namun masih bisa diajak komunikasi dan hidup normal sehari-hari.
Jadi ibunya sendiri tidak bisa banyak membantu dalam pengelolaan keuangan dan lain sebagainya.
Soal memasak ibunya tersebut masih bisa, Juwadi juga sering menggantikan ibunya masak.
Dapat Bantuan PKH
Keluarga Juwadi sudah mendapatkan bantuan dari Pemerintah yakni berupa Program Keluarga Harapan (PKH).
Bulik Juwadi, Sendet (56) warga Dukuh Malibari, Desa Ngargoloko, Kecamatan Ampel mengatakan, keluarga ponakannya tersebut sudah mendapatkan bantuan dari Pemerintah.
"Sudah dapat bantuan ada PKH itu setiap tiga bulan sekali dapat uang, jaminan kesehatan," kata Sendet pada TribunSolo.com, Sabtu (22/6/2019).
"Kalau program apa namanya itu saya lupa, sudah dapat kok," tambah Sendet.
Berbagai bantuan tersebut berupa beras, juga ada untuk menghidupi keluarga Juwadi (15) bersama ibu dan adik-adiknya.
0 Response to "Tidur di Dapur - Biayai Sekolah 4 Adik, Ini Kisah Bocah 15 Tahun yang Jadi Tulang Punggung Keluarga"
Posting Komentar